Kamis, 01 Juni 2017

No Judging is Bullsh*t

"Don't judge people. You never know what kind of battle they're fighting."

Mungkin kalian sering dengar atau baca quote itu. Mungkin dari meme sok bijak. Mungkin dengar dari motivator terkenal.

Percayalah, quote itu adalah salah satu quote ter-bullshit yang pernah saya baca.

Hari ini, saya mengerjakan tugas kelompok dengan teman saya. Sebut saja Mawar. Saya memang tidak terlalu dekat dengan Mawar; pun, ini satu kelompok karena dipilihkan dosen. Jadi, setelah selesai, kami ngerumpi dan cari makan (karena sama-sama anak kost). Lalu, mulailah pembicaraan-pembicaraan kecil mengalir. Dan sebagaimana perempuan pada umumnya, pembicaraan kami pastilah berujung pada masalah cowok. Singkat kata, saya yang mengetahui bahwa Mawar menjalani LDR, menanyakan kapan terakhir ia bertemu pacarnya.

"Terakhir sih dia yang nyamperin. Nginep di kostku." Terdiam sejenak, kemudian ia melanjutkan, "Eh, tapi aku tidur di tempat tanteku, kok." Dia terdiam lagi sebelum buru-buru menyambung, "Tenang, orangtuaku tahu, kok. Ayah dan ibuku udah kenal sama dia."

She said all of it even when I wasn't saying a single thing.

Sikapnya yang terburu-buru, ditambah kami yang memang tidak terlalu dekat, membuat saya menyadari dengan cepat, bahwa dia tidak mau di-judge jelek oleh saya. Lekas, saya tertawa kecil dan berkata ringan, "Eh, aku nggak berprasangka apapun, kok."

Lalu saya merasa sedikit kasihan padanya, karena dia harus merasa akan di-judge dan punya keharusan untuk buru-buru mengklarifikasi. Membuat saya bertanya-tanya, seperti apa lingkungan pertemanannya? Dia tentu tidak tahu bahwa saya tidak nyaman men-judge seseorang, dan cenderung memilih untuk tidak peduli dibandingkan harus menghabiskan waktu untuk menghakimi orang lain. Mawar sepertinya berada dalam lingkungan orang-orang yang masih asyik men-judge orang sesuka hatinya, sehingga ia harus terus mengusahakan dirinya terlihat baik di depan orang lain.

Perasaan yang bahkan saya sudah lupa, kapan saya rasakan. Tentu, ada saatnya saya ingin terlihat baik di depan orang lain. Misalnya, pada ketua himpunan yang saya ikuti, bukan untuk cari muka, tetapi untuk menghormatinya dan meyakinkannya bahwa ia tidak salah memilih saya sebagai anggotanya, karena saya memang bisa diandalkan. Pada orangtua saya, untuk membuktikan bahwa saya tidak berniat mengecewakan mereka. Pada para dosen (kadang), untuk menghormati beliau dan meyakinkan bahwa ketulusan mereka mengajar saya membuahkan hasil yang positif. Tapi, sudah lama sekali saya tidak pernah merasa ingin terlihat baik, hanya untuk mencegah orang men-judge negatif diri saya.

Dan saya merasa nyaman dengan hidup saya.

Saya tidak akan mengatakan quote itu tidak relevan atau salah; tidak sama sekali. Saya hanya ingin menegaskan, bahwa quote itu terkesan munafik. Ada satu pembelaan yang dilakukan oleh orang yang mengucapkan quote seperti itu, yaitu bahwa dia tidak ingin di-judge oleh orang lain. Kemungkinan, orang yang mengucapkan hal itu merasa insecure dengan apa yang mereka miliki atau apa yang mereka sedang lakukan. Jadi, dengan quote itu, mereka bisa berdalih bahwa orang lain tidak berhak menghakimi mereka. Hal yang wajar bagi seorang manusia untuk merasa insecure dan menolak di-judge.

Namun, pada kenyataannya, quote itu tidak berfungsi sama sekali. Saya melihat ada banyak orang yang membuat excuse dengan berdalih :

"Aku nggak judging, kok. Aku cuman mengatakan hal yang sebenarnya."

Atau,

"Nggak papa, dong, aku nge-judge, toh, kenyataannya, aku memang lebih baik dibandingkan orang yang aku judge."

Excuse seperti itu, jujur saja membuat saya memutar bola mata. Hello ... kepalamu terbuat dari batu atau apa, sih? Jadi, karena kamu lebih baik dari orang lain, kamu merasa berhak untuk menghakimi orang tersebut? 

Judging, apapun excuse yang coba diberikan, tetaplah sebuah penghakiman; yang kebanyakan tanpa dasar dan berdasarkan apa yang kita lihat dengan mata saja. Menghakimi, ya menghakimi. Tapi, kenapa banyak orang tidak ingin mengakui hal itu?


Minggu, 26 Maret 2017

Google Lebih Peduli

Hari ini, 26 Maret, doodle google memuat gambar Saridjah Niung. Karena penasaran, saya meng-klik si doodle untuk tahu, siapa itu Saridjah Niung? Kenapa dia masuk google? Apalagi, saya, yang sering (sok) bersikap nasionalis, sampai-sampai tidak mengenalnya. 

Ketika membaca di wikipedia, barulah saya bergumam. "Oh, ini, toh."

Yup, saya, dan semua teman-teman, pasti mengetahui karya dia yang satu ini :

Tanah Airku Tidak Kulupakan
Kan Terkenang Selama Hidupku
Biarpun Saya Pergi Jauh
Tidak Kan Hilang Dari Kalbu
Refrain
Tanah Ku Yang Ku Cintai
Engkau Ku Hargai
Walaupun Banyak Negeri Ku Jalani
Yang Masyhur Permai Di Kota Orang
Tetapi Kampung Dan Rumahku
Di Sanalah Ku Rasa Senang
Refrain
Tanah Ku Tak Ku Lupakan
Engkau Ku Banggakan
Tanah Airku Tidak Kulupakan
Kan Terkenang Selama Hidupku
Biarpun Saya Pergi Jauh
Tidak Kan Hilang Dari Kalbu
Refrain
Tanah Ku Yang Ku Cintai
Engkau Ku Hargai

Ternyata Saridjah Niung adalah Ibu Sud, yang lagu anak-anak ciptaannya seringkali kita nyanyikan ketika SD. Ketika pulang sekolah, ketika upacara bendera, atau ketika belajar menyanyi bersama teman-teman. Hal yang lucu adalah, bahwa setelah 20 tahun saya lahir, tinggal, dan besar di Indonesia, ini adalah pertama kalinya saya mengetahui nama asli Ibu Sud. Hal seperti ini, takkan pernah diajarkan di sekolah, takkan ada orang di sekitar saya yang mempunyai pengetahuan seperti ini, dan takkan ada niat mencarinya di google sampai hari ini.

Lucunya, ini membuat saya tertegun. Berpikir. Meski ini bagian dari marketing, tapi, apa yang dilakukan google telah memberikan pengetahuan baru bagi kita. Google tidak hanya menggunakan doodle untuk hari-hari atau tokoh-tokoh besar yang sudah kita ketahui, namun juga untuk hal-hal kecil yang seringnya tidak kita sadari. Ide kecil seperti doodle ini, tanpa disadari telah memberikan pengetahuan kecil bagi kita, (yang mungkin) dengan harapan bahwa kita bisa semakin mencintai Indonesia dengan lebih mengetahuinya.

Ingatan ini pun membawa saya pada ingatan lainnya. Beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar bersama mahasiswa-mahasiswa dari Melbourne University. Kami belajar mengenai analyzing Indonesian, menganalisis Indonesia beserta isu-isu besar yang sudah terjadi di Indonesia.

Dalam suatu hari, kami mendapatkan materi mengenai korupsi besar-besaran yang terjadi di negeri ini. Teman-teman saya, saling berkomentar, berdebat mengenai apa dan kenapa korupsi-korupsi seperti itu bisa terus-menerus terjadi di Indonesia. Bukan hanya itu, mereka mulai memperdebatkan cara-cara yang bisa dilakukan untuk 'menyembuhkan' Indonesia.

Lalu, salah seorang teman saya, bertanya dengan antusias, "Kenapa kalian tidak lakukan seperti dulu? Seperti Sumpah Pemuda atau ketika para mahasiswa melawan saat Tragedi Trisakti? Maksudku, kita mahasiswa, bisa membuat langkah besar. Kalian bisa membentuk perkumpulan seperti Kongres Pemuda untuk hal seperti ini."

Kami, para mahasiswa Indonesia terdiam untuk beberapa saat sampai salah seorang teman saya lagi, dari Thailand, berceletuk dengan antusiasme yang sama:

"Oh, bukankah itu sudah terjadi? Itulah apa yang sedang kita lakukan. Di sini. Sekarang."

Untuk sesaat, saya merasa tercekat. Ketika di luar sana banyak pemuda-pemudi yang tidak peduli (well, saya tidak akan menyamaratakan, jadi saya akan katakan : saya tahu bahwa ada banyak pula generasi muda yang peduli dengan negeri ini), namun pada saat itu teman-teman saya, bukan WNI, duduk bersama dan mendiskusikan Indonesia. Negeri kita

Saya tahu ada banyak kekecewaan yang kita rasakan ketika menyebut Indonesia. Ada begitu banyak bobrok dalam negeri ini. Tapi, janganlah sampai kita membuang muka. Tidak peduli. Because it's so embarassing. Ada banyak orang yang pergi ke Indonesia dan pulang kembali ke negara mereka dengan rasa kagum terhadap Indonesia. Ada banyak dari mereka yang mencintai Indonesia. Ada banyak dari mereka yang peduli dengan Indonesia. 

Lalu bagaimana dengan kita?

Kita yang lahir di tanah ini, dibesarkan di tanah ini, dan mungkin suatu saat, akan terkubur di tanah ini pula.

Seperti lirik yang ditulis dengan penuh rasa patriotisme oleh Ibu Sud, janganlah pernah lupakan tanah air kita. Sejauh apapun kita melangkah, sepermai apapun tanah yang lain.

Jangan sampai, google lebih peduli dibandingkan kita.

Bali, 26 Maret 2017